Rabu, 06 Juni 2012

Dongeng pasukan gajah

Pada abad keenam sekitar tahun 570M, saat itu Yaman dikuasai oleh seorang raja Kristen bernama Negus yang berhasil mengusir bangsa Yahudi dari negerinya. Seorang menterinya yang bernama Abrahah Ashram menemukan bahwa setiap tahunnya orang-orang dari berbagai belahan bumi bergegas dan berduyun-duyun pergi ke Kabah di Mekah untuk menunaikan haji.
“Hmm…seharusnya negerikulah yang mereka kunjungi,” pikirnya.
Diperintahkannya arsitek dan ahli bangunan terbaik untuk membangun sebuah gereja yang sangat besar dan indah di San’a, ibukota Yaman. Ia yakin gereja baru itu akan mengalihkan perhatian dunia dari Kabah. Tak lama gereja yang diberi nama Al-Qullais ini berdiri dengan megahnya. Abrahah sangat puas dengan hasilnya. Tapi meskipun keberadaannya telah disiarkan ke seluruh pelosok, orang-orang tetap berbondong-bondong menuju Kabah. Abrahah menjadi marah.
“Kita harus menyerang Mekah dan menghancurkan Kabah. Itu satu-satunya cara kita mengalihkan perhatian dunia kepada kita,” usulnya kepada raja.
“Usul yang bagus! Aku setuju. Kau aturlah strateginya. Usahakan kita menang dengan mudah!” kata raja.
“Saya sudah tahu bagaimana mengalahkan mereka. Saya yakin Mekah akan segera kita kuasai,” katanya sombong.
Abrahah segera mempersiapkan tentaranya. Sepasukan tentara andalan telah ia persenjatai. Bukan sekedar pasukan perang biasa saja, karena sebagian pasukannya menggunakan gajah sebagai tunggangannya. Iring-iringan pasukan ini bergerak dengan gagah menuju Mekah.

Saat itu rakyat Mekah banyak yang belum pernah melihat gajah seumur hidupnya. Mereka terkejut dengan kedatangan pasukan Abrahah yang mengepung dan mendirikan tenda-tenda besar di luar kota mereka. Karena perbekalan mereka habis saat perjalanan menuju Mekah, pasukannya berinisiatif untuk mencuri unta-unta yang banyak berkeliaran di lapangan tempat mereka berkemah. Tidak tanggung-tanggung unta yang mereka curi berjumlah sekitar 700 ekor dan kebetulan semuanya adalah milik Abdul Muthalib, kakek nabi Muhammad yang saat itu menjadi pemimpin kota Mekah.
Abrahah menulis surat kepada Abdul Muthalib yang menginformasikan niat mereka menyerang dan menghancurkan Kabah,
“Katakan bahwa aku akan datang sendiri menemuinya,” kata Abdul Muthalib kepada kurir.
Abrahah menyambut kedatangannya dengan hormat. Ia mempersilahkan Abdul Muthalib duduk di sampingnya.
“Aku datang kemari untuk komplain karena tentaramu telah mencuri unta-untaku,” kata Abdul Muthalib mengejutkan Abrahah.
“Apa? Apa aku ga salah dengar?” tanya Abrahah heran. “Aku dan pasukanku kesini hendak menghancurkan Kabah, tempat yang kalian anggap suci, dan kau kemari hanya karena mengkhawatirkan unta-untamu?” Abdul Muthalib tersenyum kecil.
“Aku adalah pemilik unta-unta itu. Aku bertanggung jawab atas keselamatan mereka. Sementara Kabah adalah milik Alloh swt, Ia sendiri yang akan melindungi dan mempertahankannya,” katanya dengan tenang.
Abrahah menjadi bingung dengan sikap Abdul Muthalib yang tidak disangkanya. Disuruhnya anak buahnya untuk mengembalikan unta-unta milik Abdul Muthalib.

Warga Mekah segera diperintahkan untuk mengungsi ke tempat yang aman. Abdul Muthalib khawatir pasukan Abrahah akan menyerang warga sipil. Mereka melihat dari atas bukit pasukan gajah memasuki Mekah dan siap menghancurkan Kabah. Semua menahan nafas menunggu detik-detik kehancurannya.
Abrahah yang menunggang gajah paling depan dengan pongah mengangkat tangannya memerintahkan pasukannya segera menghancurkan Kabah. Tapi tiba-tiba gajahnya mogok melangkah dan entah dari mana datangnya, sepasukan burung kecil meluncur dari langit bak awan hitam memayungi bumi. Burung-burung kecil itu dikenal sebagai burung Ababil. Kericuhan segera terjadi. Ribuan burung Ababil itu memuntahkan batu-batu kecil yang membara dari paruh kecilnya. Batu-batu itu berjatuhan menimpa pasukan Abrahah. Siapapun yang terkena saat itu juga tubuhnya gosong menjadi arang. Korban pun berjatuhan. Pasukan yang berjumlah ribuan itu habis dalam sekejap.
Abrahah juga panik dan ketakutan. Ia melarikan tunggangannya secepat mungkin menuju negerinya. Seekor burung Ababil dengan setia melayang di atas kepalanya membuat tubuh Abrahah gemetar karena takut. Pontang-panting ia berlari menghadap raja begitu ia sampai di istana.
“Ada apa?” tanya raja heran.
“Pasukan kita semua terbunuh!” katanya dengan nafas memburu.
“Bagaimana bisa? Apa pasukan mereka lebih banyak dari kita? Lalu kenapa kau ketakutan setengah mati begitu? Apa ada orang yang mengejarmu?” tanya raja.
“Bukan orang,” jawab Abrahah ketakutan.
“Lalu?”
Abrahah menunjuk burung yang terbang mengitari langit-langit istana dengan jari gemetar. Pluk! Ababil menjatuhkan batu kecil yang membara dari paruhnya ke atas kepala Abahah. Jeritan Abrahah melengking sesaat sebelum tubuhnya berubah menjadi arang. Raja dan pemuka istana hampir lupa bernafas saking terkejutnya. Hanya sekejap saja Abrahah yang gagah perkasa tewas dengan keadaan mengenaskan. Dan burung kecil bernama Ababil itu pun menghilang di atas langit.
Previous Post
Next Post

0 komentar: